Saksi Bisu #5: Angkringan Nganggo Suwe

M. Miftahul Kirom
3 min readJun 4, 2022

--

Huft…rasanya agak berbeda melanjutkan serial ini sendirian karena Raditya M memutuskan untuk rehat dari Medium setelah berakhirnya tantangan 31 Hari Menulis. Tak apa, mungkin suatu saaat beliau comeback dengan dengan ide-ide baru nan cemerlang atau saksi bisu yang menawan.

Di episode kali ini saya ingin bercerita tentang angkringan Nganggo Suwe. Seperti biasa, Radit lah yang lebih dulu tau tempat ini dan kemudian mengajak saya beserta teman-teman lain. Sayangnya, malam itu hanya saya yang kebetulan belum makan dan punya waktu longgar. Jadilah kami berangkat berdua menuju angkringan yang kata Radit ‘tidak terlalu jauh’ ini.

Kenyataannya tidak demikian. Ternyata perjalanan menuju angkringan ini memakan waktu kurang lebih 30 menit karena ia berada di dekat terminal Giwangan alias perbatasan kabupaten Bantul. Sebuah jarak yang sebenarnya tidak worth it untuk sekedar makan malam di angkringan. Tapi tak apa, ternyata ia punya keistimewaan lain yang membuat kami sama sekali tidak menyesal telah mengunjunginya.

Angkringan yang sudah berdiri hampir setengah abad ini terletak tepat di simpang tiga Jl. Pramuka dan Jl. Tegal Gendu (Kotagede), alias di posisi tusuk sate yang sering diyakini sebagai tempat yang kurang membawa keberuntungan. Siapa bilang, angkringan ini ternyata selalu ramai dan menjadi langganan banyak orang, baik warga sekitar maupun para pendatang. Bahkan angkringan ini juga sering dikunjungi publik figur seperti Cak Nun dan tokoh-tokoh lainnya.

Angkringan Nganggo Suwe memiliki bangunan sederhana yang cukup mewakili usianya. Tembok kusamnya dihiasi beberapa foto kenangan ketika angkringan ini dikunjungi beberapa publik figur seperti Komeng dan Katon Bagaskara. Dengan ukuran yang tidak terlalu luas, angkringan ini memiliki beberapa kursi dan meja yang dipenuhi aneka makanan khas angkringan serta sebuah tempat lesehan yang cukup nyaman. Entah kenapa dari sekian angkringan yang pernah saya kunjungi, Nganggo Suwe adalah yang paling enak suasanya dan terasa ‘Jogja banget’.

Menu yang tersedia di angkringan ini adalah standar angkringan pada umumnya. Dengan harga 1–9 ribu kita bisa menikmati berbagai minuman hangat dan dingin, sate-satean, gorengan, nasi kucing, nasi bakar, hingga burung puyuh goreng. Oh iya, katanya teh hangat disini diseduh satu per satu, tanpa cam-caman, sehingga memakan waktu penyajian yang lebih lama namun memiliki aroma dan rasa yang kuat. Teknik penyajian ini juga yang melatarbelakangi pemberian nama “Nganggo Suwe” yang berati pakai lama.

Sebagaimana mestinya, makanan dan tempat di angkringan ini membuat siapapun bisa larut dalam obrolan-obrolan panjang, termasuk kami berdua. Malam itu juga ada beberapa bapak-bapak dan satu keluarga yang sedang menikmati makanan sambil bercengkrama cukup lama. Setelah cukup puas nyemil dan ngobrol, kami pun memutuskan untuk beranjak pulang dibawah gerimis yang mengguyur Jogja malam itu.

Bagi siapapun, angkringan Nganggo Suwe sangat direkomendasikan untuk dikunjungi. Selain makanannya yang beragam dan enak, tempat dan suasananya pun sangat otentik dan mendukung untuk menikmati malam sambil bercengkrama. Saya yakin, angkringan Nganggo Suwe tidak hanya menjadi saksi bisu bagi cerita kami, tapi juga bagi banyak orang dan banyak peristiwa. Oh iya, Nganggo Suwe juga jadi tempat penting karena sehari setelah pulang dari angkringan ini Radit dinyatakan positif covid-19. Untungnya saya aman, hehe.

Monggo…

--

--